Murder in the Name of Allah



Murder in the Name of Allah is the first translation into English of Mazhab Ke Nam Per Khoon, a re-affirmation of the basic tenets of Islam.

Hardly a day passes on which an Islamic event does not make headlines. The president of a Muslim country is assassinated by the supporters of Muslim brotherhood; a European journalist is taken hostage by Islamic Jihad; a Pan-American aircraft is hijacked by another Muslim group; American university professors are taken into custody by Hezbullah; Two passenger carrying airplanes were slammed in to world trade center. The glare of 'Islamic' revolution in Iran is reflected through the flares of every gulf oil refinery.

This book is a reminder that the purpose of any religion is the spread of peace, tolerance and understanding. It argues that the meaning of Islam—submission to the will of God—has been steadily corrupted by minority elements in the community. Instead of spreading peace, the religion has been abused by fanatics and made an excuse for violence and the spread of terror, both inside and outside the faith.

In confirming the true spirit of Islam, it makes the point to followers of all religions that the future of mankind depends on the intrinsic values of love, tolerance, and freedom of conscience and of belief.

sumber:alislam.org





Muhammad Menurut Mirza Ghulam Ahmad

Judul : Muhammad Menurut Mirza Ghulam Ahmad
Penyunting : A.Danial Anwar
Penerbit : Mataram Publishing
Cetakan : 1, Pebruari 2009
Tebal : vi + 199 halaman
Harga : Rp. 74.700

Cukup banyak orang di negara ini yang telah medengar tentang aliran Ahmadiyah seiring dengan banyaknya hal yang dialami oleh pengikut Ahmadiyah di Indonesia. Hal ini ditandai dengan maraknya tulisan-tulisan tentang Ahmadiyah yang berkembang sedemikian rupa sehingga informasi yang beredar saat ini sudah sangat jauh dari kebenarannya.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan, khutbah, fatwa, dan ceramah dari Mirza Ghulam ahmad, pendiri Ahmadiyah, yang isinya mengenai pandangan Mirza Ghulam Ahmad tentang Nabi Muhammad saw. Isi buku ini memberikan gambaran diantaranya tentang, benarkah Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya tidak menghargai Al-Quran; benarkah Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya tidak mempercayai Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
A.Danial Anwar mengharapkan para pembaca dapat berpikir lebih bijak dan objektif dalam menilai dan menyikapi sosok Mirza Ghulam Ahmad dan aliran Ahmadiyah yang ada di Indonesia.

Untuk pemesanan dapat menghubungi :
nb_nabella@yahoo.com atau tlp : 021-99090475 (bella)


BUKAN PASAR MALAM

Judul : Bukan Pasar Malam.
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta, 2003
Tebal : 104 halaman.
Cerita ini sebenarnya sederhana saja tapi Pramoedya berhasil memakainya untuk memotret situasi sosial ekonomi rakyat yang menderita akibat konflik politik.
Suatu hari tokoh utamanya menerima sebuah surat dari kota kelahirannya di Blora, Jawa tengah, yang memintanya pulang segera karena ayahnya sakit keras. Dia lalu pulang ke Blora bersama istrinya dengan naik kereta api. Lukisan perjalanan lewat kereta dipakainya menggambarkan situasi sosial ekonomi yang papa pasca perang dunia kedua.
Sampai di Blora dia juga melihat kemiskinan dan penderitaan. Dia menjumpai ayahnya yang sudah terbaring di rumah sakit karena sakit tbc. Dia dan adik adiknya bergantian merawat ayahnya.
Suatu hari dia diajak pamannya mencari seorang dukun yang juga seorang guru Sekolah Dasar. Si dukun kemudian memberinya dupa untuk dicampur dengan minuman ayahnya. Ternyata dupa si dukun tidak membantu. Bapaknya tetap saja sakit.
Beberapa hari kemudian uangnya sudah menipis lalu dia minta ijin bapaknya untuk pulang ke Jakarta, tapi bapaknya memintanya tinggal sampai seminggu. Suatu malam dia ngobrol dengan adiknya yang menceritakan derita keluarga. Ibunya sudah meninggal lebih dulu. Mereka juga kehilangan kakek, nenek, dan seorang adik kecil. Kekurangan dan kelaparan adalah derita lain yang harus mereka hadapi.
Terungkap juga bahwa bapaknya tidak mau menjadi seorang anggota parlemen lokal. Dia juga tidak mau menjadi pegawai kantor departemen pendidikan. Dia memilih jadi guru agar bisa langsung mendidik murid muridnya. Karena posisinya yang bergaji minim bapaknya tidak mampu membayar sanatorium. Adiknya mempertanyakan kenapa ada perang yang membuat penderitaan keluarganya dan masyarakatnya.
Seminggu kemudian bapaknya mengatakan sudah saatnya dia pulang ke Jakarta. Dari seorang kenalan terungkap juga bahwa bapaknya belum menerima gaji sejak bulan maret padahal saat itu sudah bulan Mei. Akhirnya bapaknya dibawa pulang. Para tetangga banyak yang menengok.
Suatu hari bapaknya berkata bahwa dia adalah anak seorang ulama tapi dia tidak mau menjadi tokoh agama. Dia memilih menjadi nasionalis walaupun dia rasakan berat. Tidak lama kemudian bapaknya meninggal.
Ketika para pelayat berkumpul mereka mengutarakan kesan masing masing tentang almarhum. Ada yang mengenangnya sebagai pemain kartu yang mampu main berhari hari tanpa istirahat. Kawannya yang lain mengenangnya sebagai aktivis partai yang sangat bertanggung jawab. Dia pernah mengganti rugi penuh atas obligasi yang dibawa lari orang. Ada yang mengenangnya sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda tapi juga aktifis partai pro Indonesia. Ada yang mengatakan dia kecewa dengan para pemimpin revolusi yang setelah merdeka berebut kedudukan dan harta.
Jadi Pramoedya dengan piawai memakai suasana personal dan tokoh bapak untuk menggambarkan derita rakyat - kemiskinan, kematian, kesedihan - akibat revolusi fisik.

sumber : http://id.shvoong.com/books/novel/1720561-bukan-pasar-malam/