Muhammad Menurut Mirza Ghulam Ahmad

Judul : Muhammad Menurut Mirza Ghulam Ahmad
Penyunting : A.Danial Anwar
Penerbit : Mataram Publishing
Cetakan : 1, Pebruari 2009
Tebal : vi + 199 halaman
Harga : Rp. 74.700

Cukup banyak orang di negara ini yang telah medengar tentang aliran Ahmadiyah seiring dengan banyaknya hal yang dialami oleh pengikut Ahmadiyah di Indonesia. Hal ini ditandai dengan maraknya tulisan-tulisan tentang Ahmadiyah yang berkembang sedemikian rupa sehingga informasi yang beredar saat ini sudah sangat jauh dari kebenarannya.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan, khutbah, fatwa, dan ceramah dari Mirza Ghulam ahmad, pendiri Ahmadiyah, yang isinya mengenai pandangan Mirza Ghulam Ahmad tentang Nabi Muhammad saw. Isi buku ini memberikan gambaran diantaranya tentang, benarkah Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya tidak menghargai Al-Quran; benarkah Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya tidak mempercayai Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
A.Danial Anwar mengharapkan para pembaca dapat berpikir lebih bijak dan objektif dalam menilai dan menyikapi sosok Mirza Ghulam Ahmad dan aliran Ahmadiyah yang ada di Indonesia.

Untuk pemesanan dapat menghubungi :
nb_nabella@yahoo.com atau tlp : 021-99090475 (bella)


BUKAN PASAR MALAM

Judul : Bukan Pasar Malam.
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta, 2003
Tebal : 104 halaman.
Cerita ini sebenarnya sederhana saja tapi Pramoedya berhasil memakainya untuk memotret situasi sosial ekonomi rakyat yang menderita akibat konflik politik.
Suatu hari tokoh utamanya menerima sebuah surat dari kota kelahirannya di Blora, Jawa tengah, yang memintanya pulang segera karena ayahnya sakit keras. Dia lalu pulang ke Blora bersama istrinya dengan naik kereta api. Lukisan perjalanan lewat kereta dipakainya menggambarkan situasi sosial ekonomi yang papa pasca perang dunia kedua.
Sampai di Blora dia juga melihat kemiskinan dan penderitaan. Dia menjumpai ayahnya yang sudah terbaring di rumah sakit karena sakit tbc. Dia dan adik adiknya bergantian merawat ayahnya.
Suatu hari dia diajak pamannya mencari seorang dukun yang juga seorang guru Sekolah Dasar. Si dukun kemudian memberinya dupa untuk dicampur dengan minuman ayahnya. Ternyata dupa si dukun tidak membantu. Bapaknya tetap saja sakit.
Beberapa hari kemudian uangnya sudah menipis lalu dia minta ijin bapaknya untuk pulang ke Jakarta, tapi bapaknya memintanya tinggal sampai seminggu. Suatu malam dia ngobrol dengan adiknya yang menceritakan derita keluarga. Ibunya sudah meninggal lebih dulu. Mereka juga kehilangan kakek, nenek, dan seorang adik kecil. Kekurangan dan kelaparan adalah derita lain yang harus mereka hadapi.
Terungkap juga bahwa bapaknya tidak mau menjadi seorang anggota parlemen lokal. Dia juga tidak mau menjadi pegawai kantor departemen pendidikan. Dia memilih jadi guru agar bisa langsung mendidik murid muridnya. Karena posisinya yang bergaji minim bapaknya tidak mampu membayar sanatorium. Adiknya mempertanyakan kenapa ada perang yang membuat penderitaan keluarganya dan masyarakatnya.
Seminggu kemudian bapaknya mengatakan sudah saatnya dia pulang ke Jakarta. Dari seorang kenalan terungkap juga bahwa bapaknya belum menerima gaji sejak bulan maret padahal saat itu sudah bulan Mei. Akhirnya bapaknya dibawa pulang. Para tetangga banyak yang menengok.
Suatu hari bapaknya berkata bahwa dia adalah anak seorang ulama tapi dia tidak mau menjadi tokoh agama. Dia memilih menjadi nasionalis walaupun dia rasakan berat. Tidak lama kemudian bapaknya meninggal.
Ketika para pelayat berkumpul mereka mengutarakan kesan masing masing tentang almarhum. Ada yang mengenangnya sebagai pemain kartu yang mampu main berhari hari tanpa istirahat. Kawannya yang lain mengenangnya sebagai aktivis partai yang sangat bertanggung jawab. Dia pernah mengganti rugi penuh atas obligasi yang dibawa lari orang. Ada yang mengenangnya sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda tapi juga aktifis partai pro Indonesia. Ada yang mengatakan dia kecewa dengan para pemimpin revolusi yang setelah merdeka berebut kedudukan dan harta.
Jadi Pramoedya dengan piawai memakai suasana personal dan tokoh bapak untuk menggambarkan derita rakyat - kemiskinan, kematian, kesedihan - akibat revolusi fisik.

sumber : http://id.shvoong.com/books/novel/1720561-bukan-pasar-malam/

The Lion, The Witch and The Wardrobe


Judul : The Lion, The Witch and The Wardrobe
( Sang Singa, Sang Penyihir dan Lemari)
Penulis : C.S. Lewis
Diceritakan kembali oleh : Hiawyn Oram
Ilustrasi : Tudor Humphries
Penerjemah : Indah S. Pratidina
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Juni 2006
Jenis : Cerita Bergambar Anak
Tebal : 44 hlmn, (25x26cm) – art paper
Harga : Rp. 35.000,-

Kisah petualangan empat anak Inggris, Peter, Susan, Edmund, dan Lucy di negeri Narnia sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia. Seri Narnia yang merupakan kisah fantasi anak klasik karya C.S. Lewis ini mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1992 dimana untuk pertama kalinya Narnia diterjemahkan dan diterbitkan oleh Dian Rakyat

Setelah seri Narnia versi Dian Rakyat habis di pasaran dan tidak dicetak ulang kembali, kisah negeri ajaib Narnia terlupakan dengan semakin maraknya cerita-cerita fantasi anak yang lebih modern. Tiga belas tahun kemudian kisah Narnia kembali terdengar dengan terbitnya "Let’s Go Into Narnia –(Mengenal lebih dekat dunia ajaib CS. Lewis) – Arie Saptaji, Gradiens Books, Juli 2005). Buku yang ditulis untuk bekal bagi calon pembaca kisah Narnia ini rupanya hendak mencuri start eforia pembaca kisah fiksi remaja menjelang diterbitkannya kembali seri Narnia oleh Gramedia Pustaka Utama dan diputarnya film The Witch, The Lion and The Wardrobe, di bioskop-bioskop tanah air pada bulan Desember 2005.

Pada bulan Juli 2005 Gramedia secara beruntun menerbitkan seri Narnia dengan cover yang menarik dengan ilustrasi asli yang dibuat oleh Pauline Baynes. Kemudian Gramedia juga menerbitkan Narnia Box Set yang dicetak secara terbatas khusus untuk para kolektor Narnia. Setelah menerbitkan ketujuh seri Narnia secara lengkap, di bulan Mei 2006 Gramedia menerbitkan semacam buku panduan mengenai dunia Narnia "The Magical World of Narnia" karya David Colbert yang juga menulis buku paduan kisah fantasi populer seperti "The Magical World of Harry Potter dan The Magical World of Lord of The Ring" yang semuanya telah diterbitkan oleh Gramedia.

Setelah menerbitkan seri Narnia beserta buku-buku pendampingnya, kini Gramedia menerbitkan Buku Bergambar Narnia "The Lion, The Witch, and The Wardrobe" yang diperuntukkan bagi anak-anak. Buku Bergambar Narnia ini masih setia pada cerita asliya, hanya saja karena diperuntukkan bagi anak-anak dan dikemas dalam betuk cerita bergambar degan jumlah halaman yang terbatas (44 halaman), tentu saja buku ini telah megalami proses adaptasi berupa penyederhaaan cerita agar dapat dimengerti oleh pembaca anak-anak.

Kisah dalam buku ini dimulai ketika empat anak---Peter, Susan, Edmund, dan Lucy---menemukan lemari tua misterius. Ketika masuk ke sana, mereka menemukan bahwa di balik semua mantel bulu yang tergantung terdapat dunia indah – dunia Narnia - dengan pepohonan dan pegunungan, di mana segalanya tertutup salju.Ternyata musim dingin di Narnia tak perah berakhir karena Penyihir Putih telah menyebarkan musim dingin membeku ke seluruh tempat. Hanya Aslan yang bisa mengalahkannya dan mematahkan sihir jahatnya. Keempat anak itu harus menemui sang singa sebelum terlambat. Kalau mereka gagal, sang penyihir akan menjadikan mereka tawanan selamanya.

Karena buku ini diperuntukkan bagi anak-anak, maka kalimat-kalimatnya dibuat sesederhana mungkin sehinga memudahkan anak-anak yang bisa membaca untuk memahami ceritanya. Dari segi pengemasan buku ini dikemas secara menarik, ukuran buku yang besar (25x26 xm) membuat ilustrasi dalam buku dapat dinikmati dengan baik, ilustrasinya sangat menarik, komposisi warnanya teduh dan tidak mencolok mata, goresan grafisnya tersaji secara realistik dan detail-detailnya tampak halus sehingga ekspresi wajah para tokohnya bisa dikatakan mewakili apa yang sedang dialami oleh para tokoh-tokohnya. Hal ini membuat anak-anak yang belum bisa membacapun tetap bisa menikmati buku ini, terlebih bagi mereka yang pernah menonto filmnya.

Bagi pembaca yang telah menonton filmnya tentu akan menemui kemiripan-kemiripan dari apa yang tervisualisasi di layar lebar dengan ilustrasi yang terdapat dalam buku ini, padahal buku ini diadaptasi menjadi certa bergambar pada tahun 2004, setahun sebelum filmnya dirilis. Namun di akhir cerita ada sedikit ilustrasi ya berbeda dengan filmnya, pada saat keempat anak hendak meninggalkan dunia Narnia, dalam ilsutrasi buku ini tampak Mr Tumnus melambaikan tangannya pada mereka, sedangkan dalam film tak terlihat adegan tersebut. Tentu saja hal ini menimbulkan tanda tanya di benak anak-anak yang secara kritis membandingkan ilustrasi dalam buku ini dengan apa yang mereka lihat di filmnya. Namun karena buku ini merupakan karya adaptasi, maka perbedaan tersebut bukanlah masalah selama masih dianggap wajar dan tidak merubah inti cerita aslinya, yang penting melalui buku ini, anak-anak akan mendapat kesempatan untuk memasuki dunia Narnia lewat sebuah buku yang memang diperuntukkan bagi mereka.

Karena kisah Narnia sebenarnya ditulis untuk kalangan remaja, maka dengan diterbitkannya kisah Narnia yang dirancang khusus untuk anak-anak, maka para orang tua akan sangat terbantu dalam mengenalkan kisah Narnia yang sarat dengan pesan moral kepada anak-anaknya yang masih kecil. Bukan itu saja, kemasan dan ilustrasinya yang menarik pada buku ini tampaknya bukan hanya akan diminati oleh anak-anak saja, namun juga akan menggerakkan hati para penggemar Narnia dewasa untuk segera mengoleksinya.

sumber : http://bukuygkubaca.blogspot.com/2006/07/sang-singa-sang-penyihir-dan-lemari.html#links

Waktu Nayla


Judul buku : Waktu Nayla, Cerpen Pilihan KOMPAS 2003
Penyunting : Kenedi Nurhan
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : II, September 2004
Halaman : xxxviii + 206 halaman
Ukuran : 14 cm x 21 cm
Harga : Rp 40.000,-

Pergulatan politik, penindasan HAM, arah emansipasi wanita yang makin samar, dan segala macam carut-marut kehidupan telah mewarnai dunia di era globalisasi yang selalu kita banggakan ini. Apabila kita tidak dapat beradaptasi dengan baik, kita hanya akan membuat pembangunan di negara ini mandul secara langsung maupun tidak langsung. Ketimpangan-ketimpangan yang muncul saat ini telah dapat mencerminkan ketidakmampuan dan begitu bodohnya kita dalam mengikuti perkembangan dan revolusi kehidupan. Korupsi yang serasa telah menjadi suatu kebutuhan, ketidakhormatan terhadap hak dan martabat wanita yang makin menggebu-gebu, kemiskinan dan keterpurukan yang terpaksa menjadi pemandangan kita sehari-hari, dan segala pasang surut kehidupan terpotret sendu dalam Waktu Nayla, Cerpen Pilihan KOMPAS 2003. Satu lagi antologi cerpen persembahan Kompas yang sarat akan ritme kehidupan.
Waktu Nayla, sebuah buku yang menyuguhkan kreatifitas dari para cerpenis Indonesia yang luar biasa, dengan gayanya sendiri-sendiri mereka memberi warna cerpen Indonesia. Hal itu dapat dirasakan dari penggarapan alur, setting, penokohan, sudut pandang, dan daya ekspresi yang kuat, kepandaian mereka dalam mengolah tema, serta pemikiran fantastis dalam penggarapan sebuah karya, sehingga membuat penikmat cerpen berpikir bahwa mereka memang pantas disebut cerpenis Indonesia yang berkualitas.
Sebut saja “Waktu Nayla”, sebuah cerpan karya Djenar Maesa Ayu, ‘bendolan’ dari antologi cerpen ini, tema yang dipilih dalam cerpen ini begitu sederhana yaitu mengenai keterkaitan waktu dan kematian, tetapi dengan penggarapan alur dan daya ekspresi yang matang menjadikan pembaca terus dipaksa membaca kisah ini sampai tuntas, salah satu hal sulit dalam membuat sebuah cerpen, yang mungkin menjadi salah satu pertimbangan yang membuat cerpen ini dipilih sebagai cerpen terbaik. Atau pada cerpen “Legenda Wongasu”nya Seno Gumira Atmadja yang menggunakan alur dan struktur cerita yang unik, pengarang menempatkan pola cerita yang kisah intinya pada nyatanya hanya sebuah dongengan seorang tukang cerita. Hal lain yang istimewa dari antologi cerpen ini adalah beberapa pengarang mencoba mengambil setting tempat di luar negeri, sehingga menambah wawasan pembaca mengenai budaya-budaya asing melalui rangkaian kalimat cerdas para cerpenis, seperti pada cerpen “Panikov” yang bersetting di Uni Soviet(Rusia) atau pada cerpen ”Mata Sunyi Perempuan Takroni” yang bercerita tentang kehidupan takroni (sebutan bagi imigran Afrika yang tak mungkin kembali ke tanah asal, namun juga tak mungkin menjadi warga Negara Kerajaan Arab Saudi).
Kepekaan dan keperdulian dalam mengkritisi fenomena yang terjadi merupakan salah satu modal yang harus dimiliki seorang cerpenis untuk menyajikan cerpen yang benar-benar berkualitas, karena cerpen yang baik (mempunyai nilai lebih) adalah cerpen yang tidak hanya untuk dibaca namun juga harus mengandung nilai-nilai sebagai perenungan pembaca. Jurus itu banyak digunakan dalam antologi cerpen kompas kali ini, seperti dalam cerpen “Perempuan Semua Orang”, “Waktu Nayla”, “Mata Sunyi Perempuan Takroni”, “Sinar Mata Ibu”,dan “Ode untuk Sebuah KTP”,yang semuanya membicarakan perjuangan wanita. Pergulatan politik, diskriminasi, kemiskinan, serta kemerosotan moral bangsa dipaparkan dalam cerpen “Legenda Wongasu”, “Batas”, “Rumah Baru”, “Ode untuk Sebuah KTP”, “Perempuan Semua Orang”. Di saat adat dan tradisi secara tidak langung dikikis pada era modern ini, beberapa pengarang mencoba berkisah tentang fenomena adat yang terjadi, dapat dibaca pada cerpen “Rumah makam” dan “Batas”.
Rata-rata cerpen-cerpen dalam buku ini berusaha untuk menghilangkan atau mematikan kekuatan antagonis dan penggarapan konflik yang belum optimal. Tokoh yang menjadi sumber konflik dibunuh, dihilangkan, dimunculkan sebagai roh, atau dimayakan sehingga terkesan bahwa pengarang tidak mau berlama-lama menggarap konflik yang terjadi. Hal tersebut menjadikan konflik yang tumbuh dirasa tidak optimal.
Terlepas dari hal tersebut, antologi cerpen ini tetap mempunyai nilai lebih, dapat dilihat dari upaya para pengarang dalam melukiskan wajah Indonesia dari waktu ke waktu dalam rangkaian kalimat cerdas mereka. Sehingga dapat dikatakan buku ini merupakan album foto penuh makna dari pasang surut kehidupan bangsa yang tengah menghadapi krisis multidimensi saat ini. Bila kita memang ingin mengetahui dan menemukan arti hidup lebih luas, terlebih dahulu terjemahkan makna dari nilai-nilai yang terkandung dalam buku ini.

sumber: http://seindahyula.blogspot.com/2009/01/resensi-waktu-nayla-cerpen-pilihan_07.html?showComment=1234167540000#c3982980048682089412